Free Cash Flow, Agency Theory Dan
Signaling Theory: Konsep dan Riset Empiris
Jurnal ini membahas literatur tentang free cash flow (FCF) yang
merupakan salah satu sumber pendanaan perusahaan yang dapat
dibagikan kepada investor setelah mendanai semua investasi dengan
NPV positif. FCF mengandung agency problems (Jensen, 1986) sehingga
menimbulkan agency costs seperti auditing fees. FCF dapat
didistribusikan melalui dividen atau stock repurchase, tetapi adakalanya
manajemen tidak melakukannya dan justru menggunakan untuk
kemakmuran manajemen, seperti untuk bonus dan investasi yang dapat
meningkatkan power dan mengurangi kemungkinan takeover. FCF dapat
dipakai oleh manajemen sebagai sinyal tentang prospek perusahaan pada
masa yang akan datang karena kebijakan seperti specially designated
dividend dan stock repurchase memiliki kandungan informasi. Selain itu, beberapa studi menunjukkan bahwa kebijakan manajemen atas FCF
berkorelasi dengan laba dan perataan dividen.
FCF adalah fokus utama dalam analisis discounted cash flow
(DCF), likuiditas, dan perencanaan finansial dan merupakan kas bersih yang
dihasilkan dari operasi yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
membayar klaim atas hutang dan ekuitasnya. Akan tetapi, dalam riset empiris,
besaran nilai FCF tidak selalu ditentukan dengan cara ini (Kallapur, 1994).Perbedaan ini menimbulkan dugaan bahwa FCF masih memiliki pengertian
yang ambigu, yakni adanya perbedaan pandangan dari para ahli dan peneliti
tentang hakikat FCF yang sebenarnya.
Perhitungan FCF dapat dilakukan melalui angka-angka yang terdapat
dalam cash flow statement, income statement dan balance sheet, yang secara
matematis dapat ditulis: C – I = OI – ΔNOA; dengan C adalah arus kas
operasi, I adalah arus kas investasi OI adalah laba operasi, ΔNOA adalah
perubahan dalam aktiva operasi bersih, dan C-I adalah FCF (Penman,
2001:219, 310). Dengan demikian, esensinya FCF adalah dividen dari operasi,
yakni kas dari laba operasi setelah menahan sebagian laba tersebut sebagai
assets. Jika investasi dalam NOA lebih besar dari laba operasi, maka FCF
bernilai negatif, dan itu berarti dibutuhkan penanaman kas ke dalam operasi
melalui penjualan financial assets dan atau dilakukan pinjaman (financial
obligations).
Menurut Martin & Petty (2000), pendefinisian dan pengukuran FCF
harus didasarkan pada alasan perhitungan arus kas. Meski hanya memiliki
sedikit relevansi untuk tujuan penciptaan nilai bagi pemegang saham, format
akuntansi tradisional yang disebut laporan arus kas dapat dipakai. Dalam
konteks penilaian perusahaan, FCF adalah arus kas yang dihasilkan melalui
operasi perusahaan dan investasi dalam aktiva, yang sama dengan kas yang
dibayarkan kepada atau diterima oleh investor. Dengan demikian, FCF
perusahaan sama dengan pembiayaan atau arus kas investor.
Simpulan, Diskusi dan Rekomendasi untuk Riset Mendatang Free cash flow (FCF)
Merupakan sumber pendanaan bagi perusahaan
yang mengandung masalah keagenan (Jensen, 1986) dan telah banyak diteliti
untuk melihat keterkaitannya dengan perilaku manajer sebagai agen dari
pemegang saham dan kreditur. Pada dasarnya FCF adalah dana yang harus didistribusikan kepada pemegang saham dalam bentuk pembayaran dividen
atau pembelian kembali saham perusahaan, namun faktanya manajer tidak
selalu melakukannya sehingga FCF menimbulkan masalah keagenan dan
implikasinya menimbulkan biaya keagenan yang harus ditanggung prinsipal.
Peningkatan dividen dan share repurchase memberi sinyal tentang prospek arus kas masa depan perusahaan dan nilai saham perusahaan yang undervalued. Karena itu, jika FCF didistribusikan dengan kebijakan tersebut, maka besaran dan magnitude FCF harus pula diperhatikan.
Beberapa topik penelitian yang dapat dikembangkan, khususnya di Indonesia, adalah:
a. Karena pendistribusian FCF tergantung pada kebijakan perusahaan, maka perlu dilihat bagaimana keterkaitan antara FCF dengan struktur modal dan kepemilikan perusahaan. Dalam perspektif teori keagenan, kepemilikan manajemen yang rendah cenderung mengandung agency problems yang besar karena adanya perilaku moral hazard dan adverse selection pada manajer. Masalah keagenan yang besar bermuara pada kemungkinan penggunaan FCF yang tidak memaksimumkan nilai perusahaan atau kemakmuran pemegang saham.
b. Beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa ada kaitan antara kebijakan kenaikan dividen, IOS, dan FCF. IOS yang berbeda untuk industri berbeda secara tersirat juga berarti ada perbedaan FCF untuk industri berbeda. Karenanya perlu diteliti apakah ada interaksi antara IOS dan jenis industri perusahaan dan kaitannya dengan besaranmagnitude dan pendistribusian FCF.
c. Karena FCF dapat digunakan untuk SDD atau dividen tambahan, yang secara empiris terbukti memiliki kandungan informasi, maka perlu diuji apakah FCF memang secara langsung memberi sinyal tentang kebijakan SDD, atau sebaliknya, apakah SDD bermakna ada FCF yang besar dalam perusahaan. Kemudian, apakah SDD tidak bersumber dari pendanaan lain, seperti pinjaman, dengan tujuan untuk “mengelabui” pasar dengan memberikan sinyal “palsu”.
d. Share repurchase (TOR atau OMR) juga memiliki kandungan informasi dan memberi sinyal ke pasar. Tetapi, perlu dibuktikan secara empiris apakah kebijakan pembelian kembali saham perusahaan ini memang untuk tujuan meningkatkan kemakmuran pemegang saham atau justru perilaku oportunis manajer yang juga memiliki saham perusahaan? Apakah jumlah FCF berhubungan dengan pemilihan bentuk repurchase?
e. Dua bentuk sinyal yang disampaikan melalui pengumuman repurchase, yakni costly dan costless signaling, selayaknya berkaitan denga FCF Syukriy Abdullah, Free Cashflow, Agency Theory dan Signaling..... 166 karena berkaitan dengan baik atau buruknya perusahaan. Karena FCF dan repurchase mengandung masalah keagenan, dimana manajer berperilaku oportunistik, maka perlu diuji secara empiris bagaimana pengaruh FCF terhadap bentuk sinyal yang dipilih manajer. Apakah FCF yang besar berarti costly signal yang dipilih?